Sunday, 25 December 2016 21:54

ARSITEKTUR INKLUSI KEUANGAN

Written by Harry Yulianto

TAHUN 1997 merupakan titik puncak krisis keuangan yang pernah dialami dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Ditandai dengan menurunnya kurs rupiah terhadap dolar, menurunnya pendapatan per kapita bangsa Indonesia secara drastis, serta ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga jasa keuangan dengan melakukan rush money secara massal dan besar-besaran.

Selain itu, sejumlah pabrik dan industri mengalami collaps atau disita oleh kreditor karena utang sebagian pengusaha yang jatuh tempo, sehingga melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara besar-besaran. Jumlah pengangguran meningkat dan bahan-bahan kebutuhan pokok semakin langka, serta berdampak pada permasalahan sosial.

Pada masa itu Bank Dunia memperkirakan fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat, yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, laju inflasi terkendali, cadangan devisa masih cukup besar, serta realisasi anggaran pemerintah masih menunjukkan sedikit surplus.

Namun, krisis keuangan yang melanda Indonesia sejak awal Juli 1997, berdampak pada pencabutan izin usaha 16 Bank Dalam Likuidasi (BDL) pada 1 November 1997, sehingga pada akhir tahun tersebut telah berubah menjadi krisis ekonomi, sosial maupun politik.

Pelajaran dari Krisis

Belajar dari krisis tersebut, Pemerintah secara terus menerus melakukan berbagai upaya perbaikan untuk membangun sistem keuangan yang lebih tangguh dan lebih siap dalam menghadapi krisis dengan melakukan penataan kembali kelembagaan yang ada, antara lain melalui: reorganisasi Kementerian Keuangan, amandemen Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, pendirian Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang diatur dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS, serta pendirian Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang OJK.

Krisis dapat dianalogikan dengan gempa, yang tidak dapat diprediksi akan terjadi kapan, dimana, dan

seberapa besar. Namun yang utama adalah persiapan pemerintah dalam menghadapi krisis yang dapat datang kapanpun. Oleh sebab itu, harus ada upaya pertahanan yang sistematis untuk meminimalisir dampak krisis tersebut.

Krisis tidak bisa dideteksi dan dicegah begitu saja, sehingga perlu perbaikan struktur ekonomi yang seimbang dan kuat, serta pentingnya koordinasi antar institusi yang bertugas mengatasi krisis, terutama saat krisis sedang terjadi, melalui kejelasan prosedur operasional standar.

Dampak krisis keuangan secara langsung maupun tidak langsung terhadap perekonomian nasional di masa mendatang akan semakin besar. Hal tersebut ditunjukkan dengan kemajuan bidang ekonomi dan keuangan yang semakin pesat, yang dapat dilihat dari sisi besaran ekonomi, kecanggihan, dan interkonektivitas antar-negara sebagai akibat globalisasi, sehingga dapat memberikan multiplier effect secara luas dan cepat di masyarakat.

Inklusi Keuangan

Upaya menumbuhkan kepercayaan publik terhadap lembaga jasa keuangan dilakukan oleh pemerintah melalui kebijakan inklusi keuangan, yaitu pendalaman layanan keuangan untuk masyarakat tingkat akar rumput agar dapat memanfaatkan produk dan jasa keuangan seperti menabung, transfer, kredit maupun asuransi.

Istilah inklusi keuangan telah mendunia setelah krisis ekonomi dunia pada tahun 2008 yang menimbulkan dampak negatif kepada warga dengan pendapatan rendah dan tidak teratur, tinggal di daerah terpencil, kelompok disabilitas, buruh dan masyarakat pinggiran. Negara-negara dunia cenderung percaya dengan peningkatan aktivitas masyarakat di tingkat piramida terbawah.

Di Indonesia, program inklusi keuangan salah satunya dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai bagian dari fungsi mengatur, mengawasi dan melindungi seluruh industri keuangan di Indonesia sesuai UU 21/2011, dimana OJK bekerja sama dengan pihak perbankan dan industri keuangan lain.

Program inklusi keuangan menjadi strategi yang penting bagi Indonesia, karena masih banyak penduduk yang belum memiliki akses ke sektor keuangan formal. Inklusi keuangan untuk semua lapisan masyarakat ditujukan dalam upaya meningkatkan pemahaman masyarakat untuk memilih dan menggunakan produk jasa keuangan, serta bentuk dukungan program pemerintah dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Sebagai upaya memperluas akses masyarakat terhadap layanan keuangan, pemerintah menetapkan Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI), yang menjadi pedoman langkah-langkah strategis Kementerian/Lembaga dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, percepatan penanggulangan kemiskinan, pengurangan kesenjangan antarindividu dan antardaerah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Peraturan Presiden 82/2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI) yang ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 1 September 2016 menyebutkan bahwa target persentase jumlah penduduk dewasa yang memiliki akses layanan keuangan pada lembaga keuangan formal pada tahun 2019 mencapai sebesar 75%.

Negara dengan tingkat literasi dan inklusi keuangan yang tinggi cenderung memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Salah satu indikator positif bagi inklusi keuangan adalah budaya menabung dalam masyarakat.

Pada tahun 2013, tingkat literasi keuangan Indonesia sebesar 21,8% atau dari 100 orang penduduk

Indonesia, hanya 21 orang yang memiliki pengetahuan tentang keuangan.

Pasar modal memiliki tingkat literasi terendah dibandingkan dengan instrumen keuangan lainnya seperti asuransi, perusahaan pembiayaan, dana pensiun, dan pegadaian. Sedangkan, tingkat inklusi keuangan di Indonesia sebesar 59,7%, artinya dari 100 orang penduduk Indonesia, hanya 59 orang yang memiliki rekening, polis asuransi, reksadana, sukuk, atau saham.

Rendahnya inklusi keuangan Indonesia didukung dengan data jumlah kredit UMKM yang disalurkan per April 2016 sebesar Rp 780 triliun atau 18,5%, pemilik polis asuransi hanya sebesar 2,25% dari jumlah penduduk Indonesia, peserta dana pensiun sebesar 4 juta orang atau 1,6% penduduk Indonesia, serta investor domestik di pasar modal yang kurang dari 500 ribu orang atau kurang dari 0,2% penduduk Indonesia.

Saat ini, pengetahuan dan pemahaman masyarakat Indonesia terhadap lembaga, produk dan/atau layanan jasa keuangan masih rendah dan tidak merata pada setiap sektor industri jasa keuangan.

Keterbatasan pengetahuan dan pemahaman tersebut berpengaruh pada masih rendahnya pemanfaatan produk dan/atau layanan jasa keuangan. Berdasarkan data Global Findex 2014, sekitar 26,6% penduduk di Indonesia yang memiliki rekening tabungan pada lembaga keuangan formal.

Pilar Arsitektur

Indeks Keuangan Inklusif (IKI) merupakan salah satu cara alternatif untuk pengukuran keuangan inklusif dengan menggunakan indeks multidimensional berdasarkan data makroekonomi, terutama pada jangkauan layanan sektor perbankan.

Pengukuran IKI pada dasarnya sebagai upaya yang dilakukan Bank Indonesia untuk mengkombinasikan berbagai indikator sektor perbankan, sehingga IKI dapat menggabungkan beberapa informasi mengenai berbagai dimensi dari sebuah sistem keuangan yang inklusif, yaitu: akses access, usage dan quality dari layanan perbankan.

Pada 2014, IKI di Indonesia mencapai 36%, dimana Indonesia berada di atas Filipina dan Vietnam yang mencapai 31%. Namun, Indonesia masih tertinggal dengan Thailand dengan indeks 78% dan Malaysia dengan indeks 81%. Nilai IKI Indonesia 36% berarti masih belum banyak rakyat Indonesia

yang menikmati manfaat dari produk dan layanan keuangan, masih banyak yang belum mempunyai tabungan, serta masih banyak yang sulit mendapat akses kepada pinjaman dari lembaga keuangan atau perbankan.

Pemerintah telah menargetkan pada tahun 2019, IKI Indonesia berada pada angka 75% dengan menetapkan lima pilar sebagai penyangga Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI).

Pertama adalah edukasi keuangan yang melibatkan OJK dan BI. Kedua, hak properti masyarakat, dimana yang paling utama dari pilar ini adalah sertifikasi tanah rakyat dengan backbone dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang.

Pilar ketiga adalah fasilitas intermediasi dan saluran distribusi keuangan yang akan dijalankan OJK. Pilar keempat adalah layanan keuangan pada sektor pemerintah dimana bantuan sosial akan dikembangkan, serta transformasi subsidi dari pemerintah yang akan masuk melalui pilar ini dengan backbone Kementerian Sosial dan BI.

Dan, pilar kelima berkaitan dengan perlindungan konsumen yang akan dilakukan melalui kerjasama antara OJK, BI, dan pemerintah. Selain itu, ada e-commerce yang fokus pada pengembangan start-up dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM).

Dengan arsitektur inklusi keuangan yang dilaksanakan secara jelas, efektif, dan efisien melalui working group, action plan, serta time frame-nya jelas, maka pencapaian target Indeks Keuangan Inklusif sebesar 75% pada 2019 bukan suatu hal yang mustahil bagi Indonesia. Bahkan, harapan BI dimana 90% masyarakat Indonesia sudah memiliki akses ke layanan keuangan ke lembaga keuangan formal pada tahun 2023 dapat menjadi kenyataan.

Artikel ini telah dipublikasikan di http://sulsel.pojoksatu.id

Read 808 times
logoicon  Jl. Andi Tonro No. 17
 Telp. (0411) 854974 – 871890
 Fax. (0411) 830520
 Makassar, Sulawesi Selatan

Pengunjung Web

Hari Ini 5

Total 92698

Currently are 3 guests and no members online

MENELITI DAN
MENGABDI
DEMI BANGSA

© 2025 LPPM STIE YPUP. All Rights Reserved.