Sejak disahkannya pada tanggal 15 Januari 2014 lalu, UU No. 7 Tahun 2014 Tentang Desa, memberikan pengakuan yuridis terhadap Desa sebagai subjek pembangunan. Selama ini, Desa menjadi objek pembangunan, meskipun telah ada UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah yang diharapkan memberikan harapan dengan adanya desentralisasi maupun demokratisasi daerah, namun belum memberikan dampak yang signifikan terhadap pembangunan Desa, karena pemerintah menempatkan pembangunan desa sebagai objek dalam menjalankan program-program sektoral yang hanya bersifat top down, bukan bottom up yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan desa.
Tata Kelola Pembangunan Desa
Perpres No. 165 Tahun 2014 Tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja secara tegas mengatur pembagian kewenangan Kementerian yang mengatur desa. Aspek administrasi pemerintahan desa merupakan kewenangan Kementerian Dalam Negeri, sedangkan aspek pembangunan desa menjadi kewenangan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (KDPDTT). Kejelasan pembagian kewenangan tersebut merupakan solusi atas polemik dalam tata kelola desa. Pasal 6 Perpres 165/2015 menegaskan bahwa KDPDTT memiliki kewenangan dalam penyelenggaraan tugas dan fungsi di bidang desa. Juga, dalam Pasal 1 angka 26 yang menegaskan bahwa urusan desa merupakan kewenangan Kementerian khusus yang menangani desa, yaitu KDPDTT. Oleh sebab itu, dalam tata kelola pembangunan desa, KDPDTT merupakan leading sector pengelolaan urusan desa dan pembangunan perdesaan.
Implementasi Pembangunan Desa
Sebagai wujud implementasi UU Desa berkaitan dengan aspek yuridis, pemerintah sudah menerbitkan beberapa peraturan, yaitu: PP No. 43 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa; PP No. 60 Tahun 2014 Tentang Dana Desa Yang Bersumber Dari Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara; Perpres No. 12 Tahun 2015 Tentang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi; Permendesa No. 1 Tahun 2015 Tentang Pedoman Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa; Permendesa No. 2 Tahun 2015 Tentang Pedoman Tata Tertib dan Mekanisme Pengambilan Keputusan Musyawarah Desa; Permendesa No. 3 Tahun 2015 Tentang Pendampingan Desa; Permendesa No. 4 Tahun 2015 Tentang Pendirian, Pengurusan dan Pengelolaan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Desa; serta Permendesa No. 5 Tahun 2015 Tentang Penetapan Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2015.
Pada aspek penganggaran, wujud afirmasi pemerintah di tahun 2015 sebagai tahun pertama pemberlakuan UU Desa yang mengharuskan alokasi dana desa sebesar 10 persen dari alokasi transfer ke daerah, yaitu melalui realokasi dana PNPM berbasis desa yang berasal dari belanja Kementerian/Lembaga. Pemerintah mengalokasikan dana desa di APBN-P 2015 sebesar 20,77 triliun, yang mengalami kenaikan sebesar Rp 11,70 triliun, apabila dibandingkan APBN 2015 sebesar Rp 9,07 triliun. Penambahan dana desa di APBN-P 2015 merupakan langkah positif dalam mendorong peningkatan fiskal daerah dan kemandirian desa. Di tahun 2016, pemerintah menambah alokasi dana desa menjadi sebesar Rp 46,98 triliun dari APBN-P 2015. Afirmasi pemerintah melalui peningkatan dana desa merupakan bentuk perwujudan salah satu Nawa Cita yaitu “membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka Negara Kesatuan”.
Kendala Implementasi Pembangunan Desa
Implementasi pembangunan desa tidak semudah membalikkan telapak tangan, meskipun sudah ada dukungan yuridis, anggaran maupun kebijakan dari pemerintah. Sejumlah kendala yang dihadapi dalam implementasi pembangunan desa disampaikan oleh Menteri Desa (Marwan Jafar) dalam Rembug Nasional “Desa Membangun Indonesia”, yaitu: (1) fragmentasi penafsiran UU Desa di tingkat elit yang berdampak pada proses implementasi dan pencapaian mandat UU Desa yang tidak utuh; (2) pragmatisme di tingkat pemerintahan desa yang mengarah pada hilangnya kreativitas dalam menggali sumber daya lokal di desa; (3) demokratisasi desa masih menghadapi kendala praktek administratif serta lemahnya tingkat partisipasi yang substantif dan konstruksif dari masyarakat desa; (4) penguasaan rakyat atas tanah dan sumber daya alam belum terintegrasi dan menjadi basis dari proses pembangunan dan pemberdayaan desa; (5) praktek pelaksanaan musyawarah desa cenderung patriarki; serta (6) tata ruang kawasan perdesaan yang harus tunduk dengan tata daerah cenderung tidak sesuai dengan aspirasi desa.
Paradigma Desa Membangun Indonesia
Pembangunan desa dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa dan kualitas hidup manusia serta penanggulangan kemiskinan melalui penyediaan pemenuhan kebutuhan dasar, pembangunan sarana dan prasarana, pengembangan potensi ekonomi lokal, serta pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan secara berkelanjutan.
Paradigma pembangunan desa bertumpu pada “Desa Membangun Indonesia” berarti menempatkan desa sebagai subjek pembangunan. Desa Membangun Indonesia merupakan agenda strategis berdasarkan Tri Sakti dan Catur Sakti, yang menegaskan pentingnya keberadaan desa yang bertenaga secara sosial, berdaulat secara politik, bermartabat secara budaya dan mandiri secara ekonomi. Desa Membangun Indonesia menjadi paradigma dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa, dan menjadikannya sebagai konsensus dalam gerakan nasional untuk mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan desa.
Artikel ini telah dipublikasi di Harian Cetak Tribun Timur Makassar pada hari Kamis 7 Januari 2016 Halaman 18


